Peti Mati Untuk Empati Dari Pandemi
Satu hal yang pertama kali tumbang ketika pandemi COVID-19 melanda Indonesia adalah empati. Semua ini bermula ketika adanya prediksi dari para ahli bahwa Indonesia tidak akan luput dari momok virus Corona. Namun para petinggi, memilih untuk menutup mata dan menganggap bahwa masyarakat Indonesia begitu sakti sehingga tak ada virus, satu pun yang berani menginfeksinya. Bahkan, beberapa daerah mengajak turis untuk datang ke daerah tersebut tanpa pengetahuan dan penanganan infeksi menular yang cukup. Saat itu, egoisitas pemuka tinggi negeri ini dan masyarakat mengalahkan apa yang kita sebut logika dan hati nurani.
Kemudian ketika pasien 0 terdeteksi, orang-orang kehilangan akal dan berbondong-bondong berusaha menyelamatkan dirinya sendiri. Egoisitas kembali muncul dan menjelma menjadi satu landasan kokoh untuk menjustifikasi pilihannya untuk menyelamatkan diri.
Sebenarnya, tak ada yang salah dari menyelamatkan diri sendiri. Hal yang salah adalah ketika aksi menyelamatan diri itu merugikan dan membahayakan orang lain. Contoh paling nyatanya adalah penimbun masker, rubbing alkohol, hingga makanan pokok yang menjadi hal essensial dalam kehidupan sekarang. Mereka mengambil laba sebanyak-banyaknya dari nestapa pandemi yang menghantui. Hasilnya sekarang, setelah hampir enam bulan Corona menetap di Indonesia, empati telah mati dan bersemayam di dalam peti mati bersama ribuan orang yang meninggal karena Corona.
Empati mulai sekarat saat adanya bias kelas dalam penanganan pandemi di indonesia. Bukan hanya pada tingkat masyarakat, namun juga pada tingkat pemerintahan. Adanya penanganan dan perlakuan favoritism antara yang 'kaya', yang 'menengah kaya' dan 'si miskin' begitu melekat sehingga muncul pengorbanan 'si miskin' untuk 'yang kaya' dan 'yang menengah kaya'. Pemerintah pun mulai menyalahkan masyarakat menengah ke bawah karna tak bisa berada tetap di rumah. Begitu pula masyarakat menengah. Padahal mereka adalah kaum yang sangat rentan karena terpaksa untuk keluar rumah kala mencari sesuap nasi. Bahkan, beberapa dari mereka tidak memiliki tempat untuk berteduh dan mengisolasi diri.
Dalam sebuah artikel dari The Conversation yang ditulis oleh Dicky Pelupessy (Dosen Fakultas Psikologi, UI), Jony Eko Yulianto (PhD Candidate, Massey University), dan Monica. Madyaningrum (Dosen ilmu psikologi komunitas, Universitas Sanata Dharma), membahas dengan gamblang dan menyeluruh tentang adanya diskursus bias kelas dari pemerintah yang melanda penanganan serta tindakan preventif penyebaran Corona. Hal ini tentunya meniadakan kesenjangan kelas yang berefek generalisasi disegala socioekonomi status. Padahal ada perbedaan yang mendalam tentang bagaimana kondisi ekonomi bisa mempengaruhi tingkat kerentanan infeksi virus tersebut.
- Bagi masyarakat menengah ke-atas, permasalahan pemenuhan kebutuhan hidup selama PSBB bukanlah masalah yang signifikan bagi mereka. Adanya panic buying yang terjadi pada awal PSBB menjadi petanda bahwa mereka masih punya privilage untuk tetap di rumah tanpa harus mengorbankan ekonomi mereka. Berbeda sekali dengan masyarakat menengah kebawah yang masih harus bekerja ditengah pandemi ini.
Komentar
sedih ya
BalasHapussebenarnya aku merasa empati di indonesia itu udah mati lama jauh sebelum pandemi ini sih, mif. di saat orang2 mulai berkoar2 harus mementingkan kebahagiaan diri sendiri dulu, tapi kemudian lupa untuk memastikan apakah kebahagiaan diri sendiri itu tidak bersenggolan dg kepentingan banyak orang
Kerasa banget memang empati ini udah mati apalagi pas pandemi. Masih ingat sih waktu pada jual masker mahal banget. Ketemu yang kaya bisa tetap jalan-jalan cantik. Entahlah
BalasHapus